Selasa, 03 Desember 2013

Tugas Lintas Budaya



“Perbedaan Bahasa antara Jawa Indonesia dan Jawa Suriname” 

Bahasa dalam pengggunaan bukan sekedar alat komunikasi, lebih dari itu bahasa  merupakan bagian dari pesan dalam komunikasi. Brown dan Yule (1983: 1) mengidentifikasikan hal di atas dengan istilah “transaksional” dan “interpersonal”. Sementara menurut Halliday (1994: xiii) menambahkan satu istilah yaitu fungsi “tekstual”. Istilah transaksional  adalah mengacu pada fungsi bahasa untuk mengirim ‘isi pesan’ komunikasi, istilah interpesonal mengacu pada fungsi bahasa untuk membentuk ‘hubungan sosial’ dalam komunikasi tersebut, dan istilah tekstual mengacu pada fungsi penggabungan kedua fungsi tersebut (transaksional dan interpersonal).

Bahasa dan budaya erat kaitannya dengan sejarah, bahasa juga merupakan media untuk saling berhubungan antara penutur dan petutur. Dalam konteks tansaksional ini, manusia berinteraksi untuk membangun hubungan sosial dengan menggunakan bahasa pula. Dalam berinteraksi, penutur di Jakarta misalnya akan mengunakan beragam dialek dalam berkomunikasi karena masyarakat di Jakarta terdiri dari beragam etnis. Masing-masing penutur akan berkomukasi dengan menggunakan bahasa Indonesia secara sadar atau tidak sadar menggunakan dialek bahasa daerahnya yang menyertai dalam berinteraksi dengan orang lain. ini akan mengkaji hubungan bahasa, budaya dan sejarah yang ada di Jakarta dan di Suriname khususnya. Kajian ini dianggap menarik karena masyarakatnya yang multietnis yang tersebar di Jakarta menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa sehari-hari. Selain itu, makalah ini juga mengkaji hubungan bahasa dan sejarah dengan budaya lainnya. Dalam hal ini, adalah bahasa jawa. Dalam interaksi sosial, kita tidak jarang menemukan bahwa apa yang kita ucapkan atau kita sampaikan kepada lawan bicara kita tidak bisa dipahami dengan baik. Kegagalan memahami pesan ini disebabkan beberapa faktor antara lain: beda usia, beda pendidikan, dan lain-lain.

Landasan Teoritis

Bagi linguistik bahasa adalah premier, sedangkan bahasa tulis adalah sekunder. Bahasa lisan lebih dahulu ada dari pada bahasa tulis. Hingga saat ini masih banyak bahasa di dunia ini yang belum punya tradisi tulisan. Sesungguhya ada perbedaan besar antara bahasa tulis dengan bahasa lisan. Bahasa tulis merupakan ragam bahasa yang pemakaiannya melalui media tulis, tidak terkait ruang dan waktu sehingga diperlukan kelengkapan struktur agar dapat dipahami dengan mudah. Ragam bahasa tulis memiliki kaidah yang baku dan teratur seperti tata cara penulisan (ejaan), tata bahasa, kosa kata, kalimat dan lain-lain.

Ragam bahasa lisan merupakan ragam bahasa yang diungkapkan melalui media lisan, terkait oleh ruang dan waktu sehingga situasi pengungkapan dapat membantu pemahaman. Bahasa lisan lebih ekspresif di mana mimik, intonasi, dan gerakan tubuh dapat bercampur menjadi satu untuk mendukung komunikasi yang dilakukan. Dalam pembicaraan mengenai bahasa tulis kita menemukan istilah-istilah huruf, abjad, alfabet, aksara, graf, grafem, alograf, grafiti dan lain-lain. Abjad atau alfabet urutan huruf-huruf dalam suatu sistem aksara (A sampai Z). Aksara adalah keseluruhan sistem tulisan, misalnya aksara latin, aksara Arab, dan aksara jawa. Graf adalah satuan terkecil dalam aksara yang belum ditentukan statusnya, sedangkan grafem adalah satuan terkecil dalam aksara yang menggunakan fonem, suku kata, atau morfem.
 Bahasa Jawa memiliki tiga bentuk utama variasi, yaitu ngoko (kasar), madya (biasa), dan krama (halus). Bahasa Jawa mengenal undhak-undhuk basa dan menjadi bagian integral dalam tata krama (etiket) masyarakat Jawa dalam berbahasa.  Di antara masing-masing bentuk ini terdapat bentuk “penghormatan” (ngejengake, honorific) dan “perendahan” (ngasorake, humilific). Seseorang dapat berubah percakapannya pada suatu saat tergantung status yang bersangkutan dan lawan bicara. Status bisa ditentukan oleh usia, posisi sosial, dan lain-lain. Sebagai tambahan, terdapat bentuk ngoko lugu, ngoko andhap, madhya, madhyantara, krama, krama inggil, kedhaton yang keduanya hanya dipakai sebagai pengantar di lingkungan keraton. Di bawah ini disajikan contoh sebuah kalimat dalam beberapa gaya bahasa yang berbeda-beda ini.
  1. Ngoko kasar: “Eh, aku arep takon, omahé Budi kuwi, nèng*ndi?’
  2. Ngoko alus: “Aku nyuwun pirsa, dalemé mas Budi kuwi, nèng endi?”
  3. Ngoko meninggikan diri sendiri: “Aku kersa ndangu, omahé mas Budi kuwi, nèng ndi?” (ini dianggap salah oleh sebagian besar penutur bahasa Jawa karena menggunakan leksikon krama inggil untuk diri sendiri)
  4. Madya: “Nuwun sèwu, kula ajeng tanglet, griyané mas Budi niku, teng pundi?” (ini krama desa (substandar))
  5. Madya alus: “Nuwun sèwu, kula ajeng tanglet, dalemé mas Budi niku, teng pundi?” (ini juga termasuk krama desa (krama substandar))
  6. Krama andhap: “Nuwun sèwu, dalem badhé nyuwun pirsa, dalemipun mas Budi punika, wonten pundi?” (dalem itu sebenarnya pronomina persona kedua, kagungan dalem 'kepunyaanmu'. Jadi ini termasuk tuturan krama yang salah alias krama desa)
  7. Krama lugu: “Nuwun sewu, kula badhé takèn, griyanipun mas Budi punika, wonten pundi?”
  8. Krama alus “Nuwun sewu, kula badhe nyuwun pirsa, dalemipun mas Budi punika, wonten pundi?”
*nèng adalah bentuk percakapan sehari-hari merupakan kependekan dari bentuk baku ana ing yang disingkat menjadi (a)nêng.

Analisis
Sejarah Bahasa Jawa
Asal-usul Sastera Jawa Kuno tertulis bermula abad ke 9 Masehi sehingga abad ke 14 Masehi. Sastera Jawa kuno dalam bahasa jawa yang pertama dikesan adalah Prasasti (Batu bersurat) Sukabumi. Batu bersurat Sukabumi berbentuk sastra ini ditulis dengan baik dalam bentuk prosa atau puisi. Dilanjutkan Sastera Jawa Pertengahan muncul di kerajaan Majapahit, mulai dari abad ke -13 sampai sekitar abad ke-16 Masehi. Setelah itu, sastera Jawa pertengahan diteruskan di Bali menjadi Sastra Jawa-Bali. Pada masa itu muncul karya-karya puisi yang berdasarkan metrum Jawa atau Indonesia asli, karya-karya ini disebut kidung. Sastra Jawa Baru muncul dengan kemasukan agama Islam di pulau Jawa dari Demak antara abad 15-16 Masehi. Maka pada masa-masa awal, zaman sastra Jawa Baru, banyak juga digubah karya-karya sastra mengenai agama islam. Suluk Malang Sumirang adalah salah satu yang terpenting. Gaya bahasa pada masa-masa awal masih mirip dengan Bahasa Jawa Tengahan. Setelah tahun-1650 Masehi, bahasa Jawa gaya surakarta menjadi semakin dominan. Kitab-kitab kuno yang bernafaskan agama Hindu-Budha mulai dipelajari lagi dan digubah dalam bahasa Jawa Baru. Sebuah jenis karya yang khusus adalah karya sastra yang disebut babad. Karya ini menceritakan sejarah. Jenis ini juga didapati pada Sastra Jawa-Bali.
Sejarah Penyebaran Bahasa Jawa
Masyrakat pengguna Bahasa Jawa juga tersebar di berbagai wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kawasan-kawasan luar Jawa (61%), bengkulu (25%), Sumatra Utara (antara 15%-25%). Khusus masyarakat Jawa di Sumatra Utara ini, mereka keturunan para kuli kontrak yang dipekerjakan di berbagai wilayah perkebunan tembakau, khususnya di wilayah Deli sehingga kerap disebut sebagai Jawa Deli atau Pujakesuma (Putra Jawa Kelahiran Sumatera). Sedangkan masyrakat Jawa di daerah lain disebarkan melalui program transmigrasi yang diselenggarakan semenjak jaman penjajahan Belanda. Selain di kawasan Nusantara ataupun Malaysia. Masyarakat Jawa juga ditemukan dalam jumlah besar di Suriname, yang mencapai 15% dari penduduk secara keseluruhan, kemudian di Kaledonia Baru bahkan sampai kawasan Aruba dan Curacao serta Belanda. Sebagian kecil bahkan menyebar ke wilayah Guyana Perancis dan Venezuela.
Bahasa Jawa Suriname
Bahasa Jawa di Suriname merupakan ragam atau dialek bahasa Jawa yang dituturkan di Suriname dan oleh komunitas Jawa Suriname di Belanda. Jumlah penuturnya kurang lebih ada 65.000 jiwa di Suriname dan 30.000 jiwa di Belanda. Orang Jawa Suriname merupakan keturunan kuli kontrak yang didatangkan dari tanah Jawa dan sekitarnya.
Latar belakang orang Jawa di Suriname
Tak semua penduduk Hindia-Belanda yang dibawa ke Suriname itu etnis Jawa. Selain orang Jawa juga terdapat suku Sunda, Madura, dll. Namun karena mayoritas kuli kontrak itu adalah etnis Jawa, suku-suku selain Jawa berasimilasi sebagai orang Jawa. Dilihat dari asalnya, kurang lebih 70% orang Jawa berasal dari Jawa Tengah, 20% dari Jawa Timur dan 10% dari Jawa Barat. Kurang lebih 90% termasuk etnis Jawa; 5% Sunda; 2,5% Madura dan 2,5% suku lain, termasuk juga orang-orang dari Batavia (kini Jakarta).
Di antara suku Jawa tersebut, mayoritas berasal dari Karesidenan Kedu (Kabupaten Magelang dan sekitarnya). Itulah sebabnya, bahasa Jawa yang dituturkan di Suriname mirip dengan bahasa Jawa Kedu. Bahasa selain Jawa seperti Sunda, Madura sudah tak dituturkan lagi, dan tak memberi pengaruh apapun terhadap bahasa Jawa yang dituturkan di Suriname. Walaupun demikian, terdapat pula beberapa kata Melayu, dan kata-kata tersebut memang sudah ada dalam bahasa Jawa masa itu sebelum dibawa ke Suriname.

Dialek bahasa Jawa di Suriname
Di Suriname hanya terdapat satu dialek Jawa. Namun, adanya varian-varian kata menunjukkan bahwa di masa lalu para migran Jawa itu menuturkan sejumlah dialek yang berbeda. Di Suriname juga pernah ada penutur bahasa Banyumasan (ngapak-ngapak). Sayangnya, bahasa ini dianggap tidak baik dan penuturnya sering dihina. Akibatnya, keturunan mereka tak lagi mempelajari dan menuturkan bahasa Banyumasan.
Pengaruh bahasa lain
Kosakata bahasa Jawa di Suriname banyak dipengaruhi oleh bahasa Belanda dan Sranan Tongo. Meskipun demikian, kedua bahasa tersebut tak memengaruhi fonologi dan tata bahasa. Akan tetapi orang Jawa di Suriname tidak bisa berbahasa Indonesia  karena sejak Belanda mendatangkan orang jawa untuk menjadi kuli kontrak , ketika itu orang asli Jawa dahulu hanya bisa berbahasa jawa saja. Kata-kata Sranan Tongo yang sudah diserap malah ada yang memiliki bentuk bahasa krama.
Fonologi
Fonologi bahasa Jawa di Suriname tak berbeda dengan bahasa Jawa baku di Tanah Jawa. Fonologi Dialek Kedu yang menjadi leluhur bahasa Jawa Suriname tak berbeda dengan bahasa Jawa baku. Namun terdapat fenomena baru dalam bahasa Jawa Suriname, yakni perbedaan antara fonem dental dan retrofleks (/t/ dan /d/ vs. /ṭ/ dan /ḍ/) semakin hilang.
Ejaan
Namun, bahasa Jawa Suriname memiliki cara penulisan yang berbeda dengan bahasa Jawa di Pulau Jawa. Pada tahun 1986, bahasa Jawa Suriname mendapatkan cara pengejaan baku. Tabel di bawah ini menunjukkan perbedaan antara sistem Belanda sebelum PD II dengan ejaan Pusat Bahasa di Daerah Istimewa Yogyakarta.

Tugas Lintas Budaya



“Perbedaan Bahasa antara Jawa Indonesia dan Jawa Suriname” 

Bahasa dalam pengggunaan bukan sekedar alat komunikasi, lebih dari itu bahasa  merupakan bagian dari pesan dalam komunikasi. Brown dan Yule (1983: 1) mengidentifikasikan hal di atas dengan istilah “transaksional” dan “interpersonal”. Sementara menurut Halliday (1994: xiii) menambahkan satu istilah yaitu fungsi “tekstual”. Istilah transaksional  adalah mengacu pada fungsi bahasa untuk mengirim ‘isi pesan’ komunikasi, istilah interpesonal mengacu pada fungsi bahasa untuk membentuk ‘hubungan sosial’ dalam komunikasi tersebut, dan istilah tekstual mengacu pada fungsi penggabungan kedua fungsi tersebut (transaksional dan interpersonal).

Bahasa dan budaya erat kaitannya dengan sejarah, bahasa juga merupakan media untuk saling berhubungan antara penutur dan petutur. Dalam konteks tansaksional ini, manusia berinteraksi untuk membangun hubungan sosial dengan menggunakan bahasa pula. Dalam berinteraksi, penutur di Jakarta misalnya akan mengunakan beragam dialek dalam berkomunikasi karena masyarakat di Jakarta terdiri dari beragam etnis. Masing-masing penutur akan berkomukasi dengan menggunakan bahasa Indonesia secara sadar atau tidak sadar menggunakan dialek bahasa daerahnya yang menyertai dalam berinteraksi dengan orang lain. ini akan mengkaji hubungan bahasa, budaya dan sejarah yang ada di Jakarta dan di Suriname khususnya. Kajian ini dianggap menarik karena masyarakatnya yang multietnis yang tersebar di Jakarta menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa sehari-hari. Selain itu, makalah ini juga mengkaji hubungan bahasa dan sejarah dengan budaya lainnya. Dalam hal ini, adalah bahasa jawa. Dalam interaksi sosial, kita tidak jarang menemukan bahwa apa yang kita ucapkan atau kita sampaikan kepada lawan bicara kita tidak bisa dipahami dengan baik. Kegagalan memahami pesan ini disebabkan beberapa faktor antara lain: beda usia, beda pendidikan, dan lain-lain.

Landasan Teoritis

Bagi linguistik bahasa adalah premier, sedangkan bahasa tulis adalah sekunder. Bahasa lisan lebih dahulu ada dari pada bahasa tulis. Hingga saat ini masih banyak bahasa di dunia ini yang belum punya tradisi tulisan. Sesungguhya ada perbedaan besar antara bahasa tulis dengan bahasa lisan. Bahasa tulis merupakan ragam bahasa yang pemakaiannya melalui media tulis, tidak terkait ruang dan waktu sehingga diperlukan kelengkapan struktur agar dapat dipahami dengan mudah. Ragam bahasa tulis memiliki kaidah yang baku dan teratur seperti tata cara penulisan (ejaan), tata bahasa, kosa kata, kalimat dan lain-lain.

Ragam bahasa lisan merupakan ragam bahasa yang diungkapkan melalui media lisan, terkait oleh ruang dan waktu sehingga situasi pengungkapan dapat membantu pemahaman. Bahasa lisan lebih ekspresif di mana mimik, intonasi, dan gerakan tubuh dapat bercampur menjadi satu untuk mendukung komunikasi yang dilakukan. Dalam pembicaraan mengenai bahasa tulis kita menemukan istilah-istilah huruf, abjad, alfabet, aksara, graf, grafem, alograf, grafiti dan lain-lain. Abjad atau alfabet urutan huruf-huruf dalam suatu sistem aksara (A sampai Z). Aksara adalah keseluruhan sistem tulisan, misalnya aksara latin, aksara Arab, dan aksara jawa. Graf adalah satuan terkecil dalam aksara yang belum ditentukan statusnya, sedangkan grafem adalah satuan terkecil dalam aksara yang menggunakan fonem, suku kata, atau morfem.
 Bahasa Jawa memiliki tiga bentuk utama variasi, yaitu ngoko (kasar), madya (biasa), dan krama (halus). Bahasa Jawa mengenal undhak-undhuk basa dan menjadi bagian integral dalam tata krama (etiket) masyarakat Jawa dalam berbahasa.  Di antara masing-masing bentuk ini terdapat bentuk “penghormatan” (ngejengake, honorific) dan “perendahan” (ngasorake, humilific). Seseorang dapat berubah percakapannya pada suatu saat tergantung status yang bersangkutan dan lawan bicara. Status bisa ditentukan oleh usia, posisi sosial, dan lain-lain. Sebagai tambahan, terdapat bentuk ngoko lugu, ngoko andhap, madhya, madhyantara, krama, krama inggil, kedhaton yang keduanya hanya dipakai sebagai pengantar di lingkungan keraton. Di bawah ini disajikan contoh sebuah kalimat dalam beberapa gaya bahasa yang berbeda-beda ini.
  1. Ngoko kasar: “Eh, aku arep takon, omahé Budi kuwi, nèng*ndi?’
  2. Ngoko alus: “Aku nyuwun pirsa, dalemé mas Budi kuwi, nèng endi?”
  3. Ngoko meninggikan diri sendiri: “Aku kersa ndangu, omahé mas Budi kuwi, nèng ndi?” (ini dianggap salah oleh sebagian besar penutur bahasa Jawa karena menggunakan leksikon krama inggil untuk diri sendiri)
  4. Madya: “Nuwun sèwu, kula ajeng tanglet, griyané mas Budi niku, teng pundi?” (ini krama desa (substandar))
  5. Madya alus: “Nuwun sèwu, kula ajeng tanglet, dalemé mas Budi niku, teng pundi?” (ini juga termasuk krama desa (krama substandar))
  6. Krama andhap: “Nuwun sèwu, dalem badhé nyuwun pirsa, dalemipun mas Budi punika, wonten pundi?” (dalem itu sebenarnya pronomina persona kedua, kagungan dalem 'kepunyaanmu'. Jadi ini termasuk tuturan krama yang salah alias krama desa)
  7. Krama lugu: “Nuwun sewu, kula badhé takèn, griyanipun mas Budi punika, wonten pundi?”
  8. Krama alus “Nuwun sewu, kula badhe nyuwun pirsa, dalemipun mas Budi punika, wonten pundi?”
*nèng adalah bentuk percakapan sehari-hari merupakan kependekan dari bentuk baku ana ing yang disingkat menjadi (a)nêng.

Analisis
Sejarah Bahasa Jawa
Asal-usul Sastera Jawa Kuno tertulis bermula abad ke 9 Masehi sehingga abad ke 14 Masehi. Sastera Jawa kuno dalam bahasa jawa yang pertama dikesan adalah Prasasti (Batu bersurat) Sukabumi. Batu bersurat Sukabumi berbentuk sastra ini ditulis dengan baik dalam bentuk prosa atau puisi. Dilanjutkan Sastera Jawa Pertengahan muncul di kerajaan Majapahit, mulai dari abad ke -13 sampai sekitar abad ke-16 Masehi. Setelah itu, sastera Jawa pertengahan diteruskan di Bali menjadi Sastra Jawa-Bali. Pada masa itu muncul karya-karya puisi yang berdasarkan metrum Jawa atau Indonesia asli, karya-karya ini disebut kidung. Sastra Jawa Baru muncul dengan kemasukan agama Islam di pulau Jawa dari Demak antara abad 15-16 Masehi. Maka pada masa-masa awal, zaman sastra Jawa Baru, banyak juga digubah karya-karya sastra mengenai agama islam. Suluk Malang Sumirang adalah salah satu yang terpenting. Gaya bahasa pada masa-masa awal masih mirip dengan Bahasa Jawa Tengahan. Setelah tahun-1650 Masehi, bahasa Jawa gaya surakarta menjadi semakin dominan. Kitab-kitab kuno yang bernafaskan agama Hindu-Budha mulai dipelajari lagi dan digubah dalam bahasa Jawa Baru. Sebuah jenis karya yang khusus adalah karya sastra yang disebut babad. Karya ini menceritakan sejarah. Jenis ini juga didapati pada Sastra Jawa-Bali.
Sejarah Penyebaran Bahasa Jawa
Masyrakat pengguna Bahasa Jawa juga tersebar di berbagai wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kawasan-kawasan luar Jawa (61%), bengkulu (25%), Sumatra Utara (antara 15%-25%). Khusus masyarakat Jawa di Sumatra Utara ini, mereka keturunan para kuli kontrak yang dipekerjakan di berbagai wilayah perkebunan tembakau, khususnya di wilayah Deli sehingga kerap disebut sebagai Jawa Deli atau Pujakesuma (Putra Jawa Kelahiran Sumatera). Sedangkan masyrakat Jawa di daerah lain disebarkan melalui program transmigrasi yang diselenggarakan semenjak jaman penjajahan Belanda. Selain di kawasan Nusantara ataupun Malaysia. Masyarakat Jawa juga ditemukan dalam jumlah besar di Suriname, yang mencapai 15% dari penduduk secara keseluruhan, kemudian di Kaledonia Baru bahkan sampai kawasan Aruba dan Curacao serta Belanda. Sebagian kecil bahkan menyebar ke wilayah Guyana Perancis dan Venezuela.
Bahasa Jawa Suriname
Bahasa Jawa di Suriname merupakan ragam atau dialek bahasa Jawa yang dituturkan di Suriname dan oleh komunitas Jawa Suriname di Belanda. Jumlah penuturnya kurang lebih ada 65.000 jiwa di Suriname dan 30.000 jiwa di Belanda. Orang Jawa Suriname merupakan keturunan kuli kontrak yang didatangkan dari tanah Jawa dan sekitarnya.
Latar belakang orang Jawa di Suriname
Tak semua penduduk Hindia-Belanda yang dibawa ke Suriname itu etnis Jawa. Selain orang Jawa juga terdapat suku Sunda, Madura, dll. Namun karena mayoritas kuli kontrak itu adalah etnis Jawa, suku-suku selain Jawa berasimilasi sebagai orang Jawa. Dilihat dari asalnya, kurang lebih 70% orang Jawa berasal dari Jawa Tengah, 20% dari Jawa Timur dan 10% dari Jawa Barat. Kurang lebih 90% termasuk etnis Jawa; 5% Sunda; 2,5% Madura dan 2,5% suku lain, termasuk juga orang-orang dari Batavia (kini Jakarta).
Di antara suku Jawa tersebut, mayoritas berasal dari Karesidenan Kedu (Kabupaten Magelang dan sekitarnya). Itulah sebabnya, bahasa Jawa yang dituturkan di Suriname mirip dengan bahasa Jawa Kedu. Bahasa selain Jawa seperti Sunda, Madura sudah tak dituturkan lagi, dan tak memberi pengaruh apapun terhadap bahasa Jawa yang dituturkan di Suriname. Walaupun demikian, terdapat pula beberapa kata Melayu, dan kata-kata tersebut memang sudah ada dalam bahasa Jawa masa itu sebelum dibawa ke Suriname.

Dialek bahasa Jawa di Suriname
Di Suriname hanya terdapat satu dialek Jawa. Namun, adanya varian-varian kata menunjukkan bahwa di masa lalu para migran Jawa itu menuturkan sejumlah dialek yang berbeda. Di Suriname juga pernah ada penutur bahasa Banyumasan (ngapak-ngapak). Sayangnya, bahasa ini dianggap tidak baik dan penuturnya sering dihina. Akibatnya, keturunan mereka tak lagi mempelajari dan menuturkan bahasa Banyumasan.
Pengaruh bahasa lain
Kosakata bahasa Jawa di Suriname banyak dipengaruhi oleh bahasa Belanda dan Sranan Tongo. Meskipun demikian, kedua bahasa tersebut tak memengaruhi fonologi dan tata bahasa. Akan tetapi orang Jawa di Suriname tidak bisa berbahasa Indonesia  karena sejak Belanda mendatangkan orang jawa untuk menjadi kuli kontrak , ketika itu orang asli Jawa dahulu hanya bisa berbahasa jawa saja. Kata-kata Sranan Tongo yang sudah diserap malah ada yang memiliki bentuk bahasa krama.
Fonologi
Fonologi bahasa Jawa di Suriname tak berbeda dengan bahasa Jawa baku di Tanah Jawa. Fonologi Dialek Kedu yang menjadi leluhur bahasa Jawa Suriname tak berbeda dengan bahasa Jawa baku. Namun terdapat fenomena baru dalam bahasa Jawa Suriname, yakni perbedaan antara fonem dental dan retrofleks (/t/ dan /d/ vs. /ṭ/ dan /ḍ/) semakin hilang.
Ejaan
Namun, bahasa Jawa Suriname memiliki cara penulisan yang berbeda dengan bahasa Jawa di Pulau Jawa. Pada tahun 1986, bahasa Jawa Suriname mendapatkan cara pengejaan baku. Tabel di bawah ini menunjukkan perbedaan antara sistem Belanda sebelum PD II dengan ejaan Pusat Bahasa di Daerah Istimewa Yogyakarta.

( Sumarlam, Ms, Dr.(2004), aspektualitas Bahasa Jawa)
(Arifin, Syamsul, 1987, Tipe Kalimat Bahasa Jawa. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan)