“Perbedaan Bahasa antara
Jawa Indonesia dan Jawa Suriname”
Bahasa dalam pengggunaan bukan sekedar alat komunikasi,
lebih dari itu bahasa merupakan bagian
dari pesan dalam komunikasi. Brown dan Yule (1983: 1) mengidentifikasikan hal
di atas dengan istilah “transaksional” dan “interpersonal”. Sementara menurut
Halliday (1994: xiii) menambahkan satu istilah yaitu fungsi “tekstual”. Istilah
transaksional adalah mengacu pada fungsi
bahasa untuk mengirim ‘isi pesan’ komunikasi, istilah interpesonal mengacu pada
fungsi bahasa untuk membentuk ‘hubungan sosial’ dalam komunikasi tersebut, dan
istilah tekstual mengacu pada fungsi penggabungan kedua fungsi tersebut
(transaksional dan interpersonal).
Bahasa dan budaya erat kaitannya dengan sejarah, bahasa
juga merupakan media untuk saling berhubungan antara penutur dan petutur. Dalam
konteks tansaksional ini, manusia berinteraksi untuk membangun hubungan sosial
dengan menggunakan bahasa pula. Dalam berinteraksi, penutur di Jakarta misalnya
akan mengunakan beragam dialek dalam berkomunikasi karena masyarakat di Jakarta
terdiri dari beragam etnis. Masing-masing penutur akan berkomukasi dengan
menggunakan bahasa Indonesia secara sadar atau tidak sadar menggunakan dialek
bahasa daerahnya yang menyertai dalam berinteraksi dengan orang lain. ini akan
mengkaji hubungan bahasa, budaya dan sejarah yang ada di Jakarta dan di
Suriname khususnya. Kajian ini dianggap menarik karena masyarakatnya yang
multietnis yang tersebar di Jakarta menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa
sehari-hari. Selain itu, makalah ini juga mengkaji hubungan bahasa dan sejarah
dengan budaya lainnya. Dalam hal ini, adalah bahasa jawa. Dalam interaksi
sosial, kita tidak jarang menemukan bahwa apa yang kita ucapkan atau kita
sampaikan kepada lawan bicara kita tidak bisa dipahami dengan baik. Kegagalan
memahami pesan ini disebabkan beberapa faktor antara lain: beda usia, beda
pendidikan, dan lain-lain.
Landasan Teoritis
Bagi linguistik bahasa adalah premier, sedangkan bahasa
tulis adalah sekunder. Bahasa lisan lebih dahulu ada dari pada bahasa tulis.
Hingga saat ini masih banyak bahasa di dunia ini yang belum punya tradisi
tulisan. Sesungguhya ada perbedaan besar antara bahasa tulis dengan bahasa
lisan. Bahasa tulis merupakan ragam bahasa yang pemakaiannya melalui media
tulis, tidak terkait ruang dan waktu sehingga diperlukan kelengkapan struktur
agar dapat dipahami dengan mudah. Ragam bahasa tulis memiliki kaidah yang baku
dan teratur seperti tata cara penulisan (ejaan), tata bahasa, kosa kata,
kalimat dan lain-lain.
Ragam bahasa lisan merupakan ragam bahasa yang
diungkapkan melalui media lisan, terkait oleh ruang dan waktu sehingga situasi
pengungkapan dapat membantu pemahaman. Bahasa lisan lebih ekspresif di mana
mimik, intonasi, dan gerakan tubuh dapat bercampur menjadi satu untuk mendukung
komunikasi yang dilakukan. Dalam pembicaraan mengenai bahasa tulis kita
menemukan istilah-istilah huruf, abjad, alfabet, aksara, graf, grafem, alograf,
grafiti dan lain-lain. Abjad atau alfabet urutan huruf-huruf dalam suatu sistem
aksara (A sampai Z). Aksara adalah keseluruhan sistem tulisan, misalnya aksara
latin, aksara Arab, dan aksara jawa. Graf adalah satuan terkecil dalam aksara
yang belum ditentukan statusnya, sedangkan grafem adalah satuan terkecil dalam
aksara yang menggunakan fonem, suku kata, atau morfem.
Bahasa Jawa
memiliki tiga bentuk utama variasi, yaitu ngoko (kasar), madya (biasa), dan
krama (halus). Bahasa Jawa mengenal undhak-undhuk basa dan menjadi
bagian integral dalam tata krama (etiket) masyarakat Jawa dalam berbahasa. Di antara masing-masing bentuk ini terdapat
bentuk “penghormatan” (ngejengake, honorific) dan “perendahan” (ngasorake,
humilific). Seseorang dapat berubah percakapannya pada suatu saat tergantung
status yang bersangkutan dan lawan bicara. Status bisa ditentukan oleh usia,
posisi sosial, dan lain-lain. Sebagai tambahan, terdapat bentuk ngoko lugu,
ngoko andhap, madhya, madhyantara, krama, krama inggil, kedhaton yang keduanya
hanya dipakai sebagai pengantar di lingkungan keraton. Di bawah ini disajikan
contoh sebuah kalimat dalam beberapa gaya bahasa yang berbeda-beda ini.
- Bahasa Indonesia : "Maaf, saya mau tanya rumah Kak Budi itu, di mana?"
- Ngoko kasar: “Eh, aku arep takon, omahé Budi kuwi, nèng*ndi?’
- Ngoko alus: “Aku nyuwun pirsa, dalemé mas Budi kuwi, nèng endi?”
- Ngoko meninggikan diri sendiri: “Aku kersa ndangu, omahé mas Budi kuwi, nèng ndi?” (ini dianggap salah oleh sebagian besar penutur bahasa Jawa karena menggunakan leksikon krama inggil untuk diri sendiri)
- Madya: “Nuwun sèwu, kula ajeng tanglet, griyané mas Budi niku, teng pundi?” (ini krama desa (substandar))
- Madya alus: “Nuwun sèwu, kula ajeng tanglet, dalemé mas Budi niku, teng pundi?” (ini juga termasuk krama desa (krama substandar))
- Krama andhap: “Nuwun sèwu, dalem badhé nyuwun pirsa, dalemipun mas Budi punika, wonten pundi?” (dalem itu sebenarnya pronomina persona kedua, kagungan dalem 'kepunyaanmu'. Jadi ini termasuk tuturan krama yang salah alias krama desa)
- Krama lugu: “Nuwun sewu, kula badhé takèn, griyanipun mas Budi punika, wonten pundi?”
- Krama alus “Nuwun sewu, kula badhe nyuwun pirsa, dalemipun mas Budi punika, wonten pundi?”
*nèng adalah bentuk percakapan sehari-hari merupakan
kependekan dari bentuk baku ana ing yang disingkat menjadi (a)nêng.
Analisis
Sejarah Bahasa Jawa
Asal-usul Sastera Jawa Kuno tertulis bermula abad ke 9
Masehi sehingga abad ke 14 Masehi. Sastera Jawa kuno dalam bahasa jawa yang
pertama dikesan adalah Prasasti (Batu bersurat) Sukabumi. Batu bersurat
Sukabumi berbentuk sastra ini ditulis dengan baik dalam bentuk prosa atau
puisi. Dilanjutkan Sastera Jawa Pertengahan muncul di kerajaan Majapahit, mulai
dari abad ke -13 sampai sekitar abad ke-16 Masehi. Setelah itu, sastera Jawa
pertengahan diteruskan di Bali menjadi Sastra Jawa-Bali. Pada masa itu muncul
karya-karya puisi yang berdasarkan metrum Jawa atau Indonesia asli, karya-karya
ini disebut kidung. Sastra Jawa Baru muncul dengan kemasukan agama Islam di
pulau Jawa dari Demak antara abad 15-16 Masehi. Maka pada masa-masa awal, zaman
sastra Jawa Baru, banyak juga digubah karya-karya sastra mengenai agama islam.
Suluk Malang Sumirang adalah salah satu yang terpenting. Gaya bahasa pada
masa-masa awal masih mirip dengan Bahasa Jawa Tengahan. Setelah tahun-1650
Masehi, bahasa Jawa gaya surakarta menjadi semakin dominan. Kitab-kitab kuno
yang bernafaskan agama Hindu-Budha mulai dipelajari lagi dan digubah dalam
bahasa Jawa Baru. Sebuah jenis karya yang khusus adalah karya sastra yang
disebut babad. Karya ini menceritakan sejarah. Jenis ini juga didapati pada
Sastra Jawa-Bali.
Sejarah Penyebaran Bahasa Jawa
Masyrakat pengguna Bahasa Jawa juga tersebar di berbagai
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kawasan-kawasan luar Jawa (61%),
bengkulu (25%), Sumatra Utara (antara 15%-25%). Khusus masyarakat Jawa di
Sumatra Utara ini, mereka keturunan para kuli kontrak yang dipekerjakan di
berbagai wilayah perkebunan tembakau, khususnya di wilayah Deli sehingga kerap
disebut sebagai Jawa Deli atau Pujakesuma (Putra Jawa Kelahiran Sumatera).
Sedangkan masyrakat Jawa di daerah lain disebarkan melalui program transmigrasi
yang diselenggarakan semenjak jaman penjajahan Belanda. Selain di kawasan
Nusantara ataupun Malaysia. Masyarakat Jawa juga ditemukan dalam jumlah besar
di Suriname, yang mencapai 15% dari penduduk secara keseluruhan, kemudian di
Kaledonia Baru bahkan sampai kawasan Aruba dan Curacao serta Belanda. Sebagian
kecil bahkan menyebar ke wilayah Guyana Perancis dan Venezuela.
Bahasa Jawa Suriname
Bahasa Jawa di Suriname merupakan ragam atau dialek bahasa Jawa
yang dituturkan di Suriname dan oleh komunitas Jawa Suriname
di Belanda.
Jumlah penuturnya kurang lebih ada 65.000 jiwa di Suriname dan 30.000 jiwa di
Belanda. Orang Jawa Suriname merupakan keturunan kuli kontrak yang
didatangkan dari tanah Jawa dan sekitarnya.
Latar belakang orang Jawa di Suriname
Tak semua penduduk Hindia-Belanda yang dibawa ke Suriname
itu etnis Jawa.
Selain orang Jawa juga terdapat suku Sunda,
Madura,
dll. Namun karena mayoritas kuli kontrak itu adalah etnis Jawa, suku-suku
selain Jawa berasimilasi sebagai orang Jawa. Dilihat dari asalnya, kurang lebih
70% orang Jawa berasal dari Jawa Tengah, 20% dari Jawa Timur
dan 10% dari Jawa Barat. Kurang lebih 90% termasuk etnis
Jawa; 5% Sunda; 2,5% Madura dan 2,5% suku lain, termasuk juga orang-orang dari Batavia
(kini Jakarta).
Di antara suku Jawa tersebut, mayoritas berasal dari Karesidenan
Kedu (Kabupaten Magelang dan sekitarnya). Itulah
sebabnya, bahasa Jawa yang dituturkan di Suriname mirip
dengan bahasa Jawa Kedu. Bahasa selain Jawa seperti Sunda,
Madura sudah tak dituturkan lagi, dan tak
memberi pengaruh apapun terhadap bahasa Jawa yang dituturkan di Suriname.
Walaupun demikian, terdapat pula beberapa kata Melayu,
dan kata-kata tersebut memang sudah ada dalam bahasa Jawa masa itu sebelum
dibawa ke Suriname.
Dialek bahasa Jawa di Suriname
Di Suriname hanya terdapat satu dialek Jawa. Namun,
adanya varian-varian kata menunjukkan bahwa di masa lalu para migran Jawa itu
menuturkan sejumlah dialek yang berbeda. Di Suriname juga pernah ada penutur
bahasa Banyumasan (ngapak-ngapak). Sayangnya, bahasa ini dianggap tidak
baik dan penuturnya sering dihina. Akibatnya, keturunan mereka tak lagi
mempelajari dan menuturkan bahasa Banyumasan.
Pengaruh bahasa lain
Kosakata bahasa Jawa di Suriname banyak dipengaruhi oleh bahasa
Belanda dan Sranan Tongo. Meskipun demikian, kedua bahasa
tersebut tak memengaruhi fonologi dan tata bahasa. Akan tetapi orang Jawa di Suriname
tidak bisa berbahasa Indonesia karena
sejak Belanda mendatangkan orang jawa untuk menjadi kuli kontrak , ketika itu
orang asli Jawa dahulu hanya bisa berbahasa jawa saja. Kata-kata Sranan Tongo
yang sudah diserap malah ada yang memiliki bentuk bahasa krama.
Fonologi
Fonologi bahasa Jawa di Suriname tak berbeda dengan
bahasa Jawa baku di Tanah Jawa. Fonologi Dialek Kedu
yang menjadi leluhur bahasa Jawa Suriname tak berbeda dengan bahasa Jawa baku.
Namun terdapat fenomena baru dalam bahasa Jawa Suriname, yakni perbedaan antara
fonem
dental dan retrofleks
(/t/ dan /d/ vs. /ṭ/ dan /ḍ/) semakin hilang.
Ejaan
Namun, bahasa Jawa Suriname memiliki cara penulisan yang
berbeda dengan bahasa Jawa di Pulau Jawa. Pada tahun 1986, bahasa Jawa Suriname
mendapatkan cara pengejaan baku. Tabel di bawah ini menunjukkan perbedaan
antara sistem Belanda sebelum PD II dengan ejaan Pusat Bahasa
di Daerah Istimewa Yogyakarta.